Selasa, 27 April 2010

Senin, 26 April 2010

Peta Kemiskinan Partisipatif

Jakarta, 8 Juni 2007

Peta Kemiskinan Partisipatif

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan instruksi khusus kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) membuat Peta Pertumbuhan Ekonomi, Peta Kemiskinan, Peta Inflasi. Khususnya tentang harga beras, dan Peta Pengangguran secara Nasional dan Daerah. Peta tersebut dapat menunjukkan kemajuan dan peningkatan hasil kerja pemerintah pusat dan daerah, yang dapat dilihat langsung oleh Presiden maupun oleh publik (KCM, 3 Mei 2007).

Hal tersebut diungkapkan Presiden Yudhoyono dalam Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2007, pada Kamis (3/5/2007).
Muncul pertanyaan yang mengherankan, atau bahkan menggelikan, apakah benar selama ini pemerintah, dalam hal ini Bappenas dan BPS, tidak memiliki peta-peta yang paling urgent dalam pembangunan bangsa tersebut? Apakah karena Indonesia negara yang luas dengan jumlah penduduknya besar, maka data statistik yang tersebut tidak dimiliki BPS? Jika benar, tidaklah mengherankan jika pemerintah cukup kesulitan menetapkan daerah sasaran kelompok masyarakat miskin untuk program penanggulangan kemiskinan.

Dalam sebuah masalah juga terkandung potensi. Mahbub ul-Haq dalam The Poverty Curtain, dengan mencontohkan Cina bahwa sebenarnya jumlah penduduk dan tenaga kerja yang besar bisa diubah dari beban negara menjadi keunggulan kompetitif (shifting from burden to competitive advantage), yakni melalui langkah penanaman modal yang bijaksana dalam sumber daya manusia, serta penyebarluasan keterampilan teknik dan kejuruan pada tenaga kerja serta pendidikan dasar pada hampir seluruh rakyatnya. Di samping faktor lain, seandainya kita sudah punya data yang cukup akurat, mungkin kita juga bisa melakukannya.

Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menyebutkan, pada tahun 2000 pernah dibuat peta kemiskinan yang telah disusun tim dari BPS, dibantu World Bank. Di sana terlihat pencantuman indeks kemiskinan sampai ke tingkat kecamatan dan pedesaan. Peta kemiskinan tersebut baru satu-satunya di Indonesia. Peta kemiskinan tersebut juga dapat menyajikan proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan, kesenjangan kemiskinan, maupun keparahan kemiskinan hingga tingkat kecamatan dan pedesaan. 

Sebagai Geography Information System (GIS), peta tersebut secara akurat menggunakan data survei sosial ekonomi nasional dan sensus penduduk, agar diketahui persis kantong-kantong kemiskinanl. Yang ironis, menurut Sekretaris Komite Penanggulangan Kemiskinan Dr. Gunawan Sumodiningrat, peta kemiskinan tersebut masih dipergunakan untuk program penanggulangan kemiskinan di tahun 2005. Bahkan, peta ini juga dipergunakan untuk berbagai sektor seperti Departemen Kesehatan guna melaksanakan program kesehatan bagi keluarga miskin. Pada tahun 2003, Bappenas yang bekerjasama dengan SMERU juga pernah menerbitkan buku peta kemiskinan tahun 2003 setebal 45 halaman.

Secara umum pemerintah memang wajib memprakarsai pengukuran berbagai indikator kemiskinan dari berbagai perspektif, seperti indikator insiden kemiskinan (The Poverty Headcount Index), tingkat kedalaman kemiskinan (The Depth of Poverty), dan tingkat keparahan kemiskinan (The Severity of Poverty Gap). 
The Poverty Headcount Index atau The Incidence of Poverty menggambarkan prosentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. 
The Poverty Gap Index atau The Depth of Poverty adalah kedalaman kemiskinan di suatu wilayah, yang merupakan perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. 
The Severity of Proverty menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah. Indikator ini memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, dan ketimpangan di antara orang miskin.

Sayangnya, langkah ini memerlukan waktu lama dan kesabaran ekstra. Karena, lembaga riset independen SMERU pun menghabiskan waktu dua tahun untuk menyusun data dasar kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan, misalnya, melalui indikator Nilai Tukar Nelayan (NTN) pernah melakukan hal yang sama. 

Khusus untuk propinsi yang telah memiliki data dasar kemiskinan di atas, metode overlay antara peta kemiskinan dan peta fisik atau peta administrasi dapat dilakukan dengan mudah (lihat: http://www.dkp.go.id/). Apalagi, data dan peta kemiskinan ini harus dilakukan pemutakhiran, minimal setahun sekali. Padahal, survei sosial ekonomi nasional (Susenas), yang menjadi basis data saja, hanya dilakukan setiap tiga tahun sekali.
Sebenarnya masyarakat bisa dilibatkan untuk membuat peta kemiskinan secara partisipatif di wilayahnya masing-masing. Selain lebih akurat, pelibatan masyarakat akan sangat mendukung upaya pemberdayaan dalam penanggulangan kemiskinan. Selama ini dalam pemetaan kemiskinan masyarakat masih dijadikan obyek penelitian, yang proses dan hasilnya sama sekali tidak mereka rasakan. Imbasnya, ketika ada program yang berkaitan dengan kemiskinan, mayoritas anggota masyarakat berlomba-lomba “menjadi orang miskin” agar dapat menjadi pemanfaatnya.

Guna membuat peta kemiskinan secara partisipatif, maka masyarakat harus menyepakati kriteria dan tingkatan kemiskinan yang ada di wilayahnya. Keunggulan dari kriteria kemiskinan yang dibuat oleh masyarakat secara partisipatif adalah dengan benar-benar menggambarkan kondisi asli (genuine) dari ciri-ciri kemiskinan yang ada di lokasi tersebut, yang sangat mungkin berbeda dengan wilayah lainnya. Misalnya, perbedaan ciri orang miskin di perkotaan (urban) dengan di pedesaan (rural), atau perbedaan kaum miskin di wilayah pegunungan dengan di wilayah pesisir. 

Ragam karakteristik pendataan komunitas inilah yang diharapkan mampu mengatasi kesulitan pembuatan peta kemiskinan selama ini. Lantas bagaimana dengan PNPM sebagai program nasional, apakah mampu menjawab permasalahan tersebut? Mampukan peta kemiskinan yang dibuat oleh masyarakat secara partisipatif saat pemetaan swadaya, “berbunyi” dan bisa dijadikan landasan untuk membuat peta kemiskinan di level daerah atau bahkan peta kemiskinan Indonesia? (Farid S. Zuhry)

MDG’s dan Kemiskinan Abad Millennium

8 Mei 2007
MDG’s dan Kemiskinan Abad Millennium

Minggu, 8 April 2007, dalam tayangan sebuah berita kriminal di RCTI menyebutkan, seorang ibu di Nusa Tenggara Timur (NTT) ditemukan tewas terbunuh oleh tetangganya, akibat kedapatan mencuri kacang. Pencurian tersebut dilakukan sang ibu, karena keluarganya kelaparan. Peristiwa itu melengkapi serangkaian cerita pilu dan menyedihkan tentang kemiskinan di negeri ini.
Persis sebulan sebelumnya, Mercy, seorang ibu di Malang, ditemukan bunuh diri setelah sebelumnya meracun keempat anaknya hingga tewas. Ini dilakukan juga karena himpitan ekonomi keluarga. Kedua peristiwa tersebut terjadi sebagai dampak kemiskinan, meski penyebab kemiskinan dan model kemiskinan yang diderita keduanya berbeda.
Pada kasus pertama, kemiskinan terjadi lebih karena faktor kebodohan dan tidak terjangkaunya akses pelayanan sosial bagi si miskin. Sedangkan, pada kasus kedua, lebih disebabkan karena tekanan mental (depresi) karena pergeseran status sosial yang menyebabkan terjadinya shock culture — sebuah fenomena yang umum terjadi karena disparitas ekonomi yang cukup lebar, antar si kaya dan si miskin — di negeri ini. Ketika si miskin meregang nyawa akibat kelaparan, sebagian masyarakat kita yang lain sedang menikmati empuknya sofa di apartemen mewah, atau sedang menggelar pesta ulang tahun di hotel berbintang.
Disparitas ekonomi penyebab kemiskinan yang terjadi adalah akibat konsumerisme (boros), maraknya korupsi, mis manajemen, dan berlanjutnya utang luar negeri yang tidak efisien. Hal ini menyebabkan rapuhnya pembangunan, yang membuat Indonesia menjadi negara paling terpuruk akibat deraan krisis ekonomi tahun 1997. Kekayaan ekonomi secara umum masih dimonopoli oleh sekelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Sedangkan, program kemiskinan bagi masyarakat, seolah membuat masyarakat miskin semakin termarjinalkan, dan termiskinkan. Berbagai tayangan televisi yang didominasi oleh tontonan dunia selebritis yang glamour, semakin menjauhkan masyarakat kita dari realitas kemiskinan yang ada di sekitarnya.
Beberapa visi telah diluncurkan pemerintah, setidaknya sebagai upaya mengurangi jumlah kemiskinan yang berlipat sejak krisis melanda. Perbaikan sektor pendidikan dan kesehatan adalah dua goal strategis yang menjadi sasaran umum pada tujuh tujuan dan 11 target MDG’s, yang telah disepakati Indonesia bersama 189 anggota PBB, melalui KTT Millennium, pada September 2000.
Menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, serta memerangi HIV, Malaria dan penyakit menular, adalah tiga dari tujuh indikator yang ada pada bidang kesehatan, yang menjadi faktor dominan dalam menentukan keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan suatu bangsa, di samping pengurangan jumlah kemiskinan dan kelaparan, pencapaian pendidikan dasar, pemberdayaan perempuan, serta pelestarian lingkungan hidup. Ironisnya, bagi orang miskin kesehatan dan pendidikan adalah dua barang mewah teratas, seperti diungkap Eko Prasetyo dalam bukunya, “Orang Miskin Dilarang Sakit” dan “Orang Miskin Dilarang Sekolah.”
Tujuh tahun berlalu setelah visi itu dicanangkan. Namun, upaya mengurangi jumlah penduduk miskin bergerak sangat lamban. Deputi khusus PBB MDG Erna Witular, dalam sebuah dialog MDG’s di Metro TV menyampaikan, indikator utama tercapainya tujuh goal MDG’s adalah terwujudnya kemitraan dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Di Indonesia, seringnya pergantian pengambil kebijakan, lemahnya komitmen dan belum optimalnya koordinasi antarlembaga pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, dianggap menjadi penyebab utamanya.
Perbedaan instrumen yang dipakai dan tumpang tindihnya program antarinstansi pemerintah, kerap kali justru menyebabkan program-program tersebut menjadi kontra-produktif. Belum lagi faktor rendahnya kemauan berubah dari aparatur pemerintahan, akibat ego sektoral dan perebutan “berkah proyek” semakin menambah benang kusut kompleksitas permasalahan di birokrasi kita.
Tinggal tekad dan keberanian kita untuk membantu warga miskin agar berdaya dan tidak lagi miskin. Jika tidak, harapan mereka akan tetap menjadi mimpi, dan warga miskin hanya akan bisa “mellunyium” MDG’s, ikut membaui tanpa (pernah) ikut merasakannya. (Farid S Zuhry)