Senin, 26 April 2010

MDG’s dan Kemiskinan Abad Millennium

8 Mei 2007
MDG’s dan Kemiskinan Abad Millennium

Minggu, 8 April 2007, dalam tayangan sebuah berita kriminal di RCTI menyebutkan, seorang ibu di Nusa Tenggara Timur (NTT) ditemukan tewas terbunuh oleh tetangganya, akibat kedapatan mencuri kacang. Pencurian tersebut dilakukan sang ibu, karena keluarganya kelaparan. Peristiwa itu melengkapi serangkaian cerita pilu dan menyedihkan tentang kemiskinan di negeri ini.
Persis sebulan sebelumnya, Mercy, seorang ibu di Malang, ditemukan bunuh diri setelah sebelumnya meracun keempat anaknya hingga tewas. Ini dilakukan juga karena himpitan ekonomi keluarga. Kedua peristiwa tersebut terjadi sebagai dampak kemiskinan, meski penyebab kemiskinan dan model kemiskinan yang diderita keduanya berbeda.
Pada kasus pertama, kemiskinan terjadi lebih karena faktor kebodohan dan tidak terjangkaunya akses pelayanan sosial bagi si miskin. Sedangkan, pada kasus kedua, lebih disebabkan karena tekanan mental (depresi) karena pergeseran status sosial yang menyebabkan terjadinya shock culture — sebuah fenomena yang umum terjadi karena disparitas ekonomi yang cukup lebar, antar si kaya dan si miskin — di negeri ini. Ketika si miskin meregang nyawa akibat kelaparan, sebagian masyarakat kita yang lain sedang menikmati empuknya sofa di apartemen mewah, atau sedang menggelar pesta ulang tahun di hotel berbintang.
Disparitas ekonomi penyebab kemiskinan yang terjadi adalah akibat konsumerisme (boros), maraknya korupsi, mis manajemen, dan berlanjutnya utang luar negeri yang tidak efisien. Hal ini menyebabkan rapuhnya pembangunan, yang membuat Indonesia menjadi negara paling terpuruk akibat deraan krisis ekonomi tahun 1997. Kekayaan ekonomi secara umum masih dimonopoli oleh sekelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Sedangkan, program kemiskinan bagi masyarakat, seolah membuat masyarakat miskin semakin termarjinalkan, dan termiskinkan. Berbagai tayangan televisi yang didominasi oleh tontonan dunia selebritis yang glamour, semakin menjauhkan masyarakat kita dari realitas kemiskinan yang ada di sekitarnya.
Beberapa visi telah diluncurkan pemerintah, setidaknya sebagai upaya mengurangi jumlah kemiskinan yang berlipat sejak krisis melanda. Perbaikan sektor pendidikan dan kesehatan adalah dua goal strategis yang menjadi sasaran umum pada tujuh tujuan dan 11 target MDG’s, yang telah disepakati Indonesia bersama 189 anggota PBB, melalui KTT Millennium, pada September 2000.
Menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, serta memerangi HIV, Malaria dan penyakit menular, adalah tiga dari tujuh indikator yang ada pada bidang kesehatan, yang menjadi faktor dominan dalam menentukan keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan suatu bangsa, di samping pengurangan jumlah kemiskinan dan kelaparan, pencapaian pendidikan dasar, pemberdayaan perempuan, serta pelestarian lingkungan hidup. Ironisnya, bagi orang miskin kesehatan dan pendidikan adalah dua barang mewah teratas, seperti diungkap Eko Prasetyo dalam bukunya, “Orang Miskin Dilarang Sakit” dan “Orang Miskin Dilarang Sekolah.”
Tujuh tahun berlalu setelah visi itu dicanangkan. Namun, upaya mengurangi jumlah penduduk miskin bergerak sangat lamban. Deputi khusus PBB MDG Erna Witular, dalam sebuah dialog MDG’s di Metro TV menyampaikan, indikator utama tercapainya tujuh goal MDG’s adalah terwujudnya kemitraan dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Di Indonesia, seringnya pergantian pengambil kebijakan, lemahnya komitmen dan belum optimalnya koordinasi antarlembaga pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, dianggap menjadi penyebab utamanya.
Perbedaan instrumen yang dipakai dan tumpang tindihnya program antarinstansi pemerintah, kerap kali justru menyebabkan program-program tersebut menjadi kontra-produktif. Belum lagi faktor rendahnya kemauan berubah dari aparatur pemerintahan, akibat ego sektoral dan perebutan “berkah proyek” semakin menambah benang kusut kompleksitas permasalahan di birokrasi kita.
Tinggal tekad dan keberanian kita untuk membantu warga miskin agar berdaya dan tidak lagi miskin. Jika tidak, harapan mereka akan tetap menjadi mimpi, dan warga miskin hanya akan bisa “mellunyium” MDG’s, ikut membaui tanpa (pernah) ikut merasakannya. (Farid S Zuhry)

1 komentar:

  1. Butuh usaha dan kerja keras untuk dapat menjadi yang diinginkan, tetapi pertanyaannya justru adalah kerja keras yang bagaimana lagi?

    Salam hangat selalu.

    BalasHapus